PENYESALAN
Aku melangkahkan kaki ragu,
dengan degup jantung yang tak karuan. Seseorang telah menungguku sekitar 1 jam
lamanya di dalam kafe yang entah sejak kapan tempat itu sudah sangat berubah
setelah 4 tahun sejak terakhir kali aku mengunjunginya. Aku sengaja mengulur
waktu selama mungkin untuk menemuinya, kufikir dia akan pergi setelah kubiarkan
menunggu selama itu, tapi ternyata tidak.
Aku
menghela nafas pelan, berhenti di depan pintu kafe sambil memandang wajahnya
yang sangat gelisah. matanya tak henti-henti memandang ke layar handphone
miliknya, sesekali terlihat menghubungi seseorang namun tak ada jawaban.
Wajahnya tampak kecewa, sangat kecewa. Melihatnya, aku hampir menjatuhkan air
mata. Aku masih merindukannya.
“Sudah
menunggu lama ya?” dia terkejut, ada aura kebahagiaan terlihat diwajahnya saat
tahu bahwa aku sudah datang.
“Lumayan” ucapnya sambil
memelukku. Pelukan yang sangat erat. Aku tersenyum, menyudahi pelukan yang
tidak lagi membuatku sebahagia waktu dulu.
“Gimana rasanya menunggu?”
tanyaku dengan nada yang sedikit mengejek. Dia menghela nafas pelan, ada
penyesalan di raut wajahnya. Dia mengerti apa yang aku maksud.
“Menunggu selama 1 jam bukan hal
yang sulit untukku Sarah” ucapnya sambil berusaha untuk tersenyum. Aku terkekeh
mendengar jawabannya. Membuatnya menunggu selama 1 jam memang bukan sesuatu
yang cocok untuk dijadikan pembalasan dendam.
4 tahun yang lalu, laki-laki yang
ada dihadapanku ini memutuskan untuk kuliah di luar kota. Aku sangat sedih
mendengar kabar itu, aku menangis semalaman. Bagaimana mungkin aku tidak sedih
setelah tau sahabatku sekaligus orang yang entah sejak kapan mulai mengisi
hatiku akan pergi. Aku merasa bodoh sekali waktu itu saat aku menyadari bahwa
aku menyukainya. Aku selalu berusaha untuk menyembunyikan perasaanku setiap
kali aku bersamanya. Tapi, pada malam itu, malam dimana dia harus berangkat ke
kota yang ia tuju, aku tidak sanggup lagi untuk menyembunyikan perasaan itu.
Aku mengatakan semuanya, semua isi
hatiku. Aku ingat sekali, dia sangat terkejut mendengar hal itu, ia terdiam
lama sambil menatapku. Tatapan yang sama sekali tidak aku mengerti. Dia
mengusap kepalaku pelan. “Jaga diri baik baik ya Sar” katanya pelan, lalu
memelukku lama. Pelukan yang sama sekali tidak membuatku senang.
Setelah malam itu, aku menyadari
satu hal, bahwa ia sama sekali tidak memiliki perasaan yang sama sepertiku,
bahkan setelah malam itu ia tidak pernah menghubungiku lagi. Aku menyesal,
sangat menyesal telah mengatakan isi hatiku kepadanya. Berkali kali aku
mengirimkan pesan untuknya, namun hanya balasan singkat yang ia berikan. Bahkan
pernah aku meminta maaf kepadanya tapi malah dihiraukan. Meski begitu,
perasaanku padanya masih tetap sama. Aku memutuskan untuk menunggunya pulang,
menunggu kabar-kabar darinya, menunggu semua hal tentang dia. Tapi setahun
setelah ia pergi, aku malah sama sekali tidak bisa menghubunginya lagi. Aku
benar benar merasa bersalah waktu itu. berkali kali aku mengutuk diriku
sendiri, dan aku merasa bodoh sekali meskipun aku tidak bisa menemuinya,
mengetahui kabarnya, aku tetap memutuskan untuk menunggu. Lama, lama sekali.
Sampai akhirnya aku lelah. Tidak ada yang tidak lelah dalam menunggu.
3 tahun berlalu, dan akhirnya aku
memutuskan untuk membuang semua perasaanku untuknya. Aku tidak mau lagi
repot-repot mencari keberadaanya, tidak lagi mengiriminya email yang tidak
pernah ada balasan. Aku mengakhiri semuanya, mengakhiri sesuatu yang bahkan
belum sempat dimulai.
1 tahun setelahnya aku
benar-benar sudah mengikhlaskan sosok sahabat sekaligus orang yang aku cintai.
Tapi, semesta berkata lain. Seseorang itu tiba-tiba menghubungiku, berkata
ingin bertemu. Aku jelas terkejut, mendengar suaranya membuatku ingin menangis.
Aku masih merindunkannya, setiap hari. Seseorang itu ada dihadapannku sekarang,
dengan mata sayu, wajah yang sangat gelisah dan tatapan yang sama sekali tidak
aku mengerti.
“Jadi?” tanyaku sedikit meyidik.
Entahlah, lelah sekali melawan semua isi hati yang ingin mengoceh dengannya
panjang lebar, tapi malah secanggung ini.
“Sar, maaf untuk semuanya” dia
terdiam setelah mengucapkan kalimat itu, kepalanya tertunduk. Berulangkali dia
menghela nafas panjang. Aku menatapnya dengan tatapan yang tidak menunjukkan
kesedihan sama sekali, lebih tepatnya menahan untuk tidak menunjukkannya.
“Maaf untuk apa Rey? Untuk waktu
4 tahun yang gak ada artinya itu? justru aku yang harusnya minta maaf. Karna
perasaanku yang udah buat aku kehilangan sahabat sekaligus orang yang aku
sayang, aku kehilangan kamu Rey. Kehilangan orang yang sama sekali gapernah
perduli sama aku”. Ucapku tenang, berusaha untuk menahan emosi.
“Aku akan jelaskan semuanya. 4
tahun lalu setelah kamu mengatkannya, aku benar-benar terkejut Sar. Aku masih
belum bisa nerima hal itu. Kamu yang selama ini ada untuk aku, orang yang
sangat aku sayang, Tapi justru kamu mengartikannya lebih daripada itu. Jujur
aku memang tidak bisa membalas perasaanmu waktu itu, aku memutuskan untuk
menjauh darimu, agar perasaanmu hilang dengan sendirinya, tapi kamu justru gak
henti-hentinya menghubungiku. Karena itu, aku menghilang. Aku ganti nomor
ponsel, meblokir semua akun medsosmu. Aku tahu aku jahat Sar, sangat jahat.
Tapi kamu tau, aku selalu membaca semua isi email yang selalu kamu kirim,
setiap membacanya aku selalu ingin bertemu kamu Sar, tapi aku terlalu pengecut,
aku masih tidak terima dengan perasaanmu. Tetapi aku sadar setelah satu tahun
belakangan ini semenjak kamu berhenti mengirimkan email itu lagi. Aku
bertanya-tanya setiap hari kenapa kamu tidak lagi mengirimkan email itu. aku
mulai kehilanganmu Sar, sejak saat itu aku menayadari satu hal, aku
membutuhkanmu, lebih dari sahabat. Aku mulai sadar bahwa aku juga mencintaimu.
Setiap hari adalah penyeselan untukku Sar. Maafkan aku” aku menghela nafas
panjang, tidak menyangka dia mengatakan itu.
“Kamu memang jahat Rey. Kamu tau
dalam menunggu bukan kah ada kata lelah?, aku sudah merasakannya semenjak aku
tidak lagi mengirimkan email itu. Aku memutuskan untuk mengakhirinya Rey, mengakhiri
sesuatu yang bahkan belum sempat dimulai. Ohh iyaa, aku juga sudah memafkanmu,
jangan khawatir”.
“Aku mencintaimu sar” ucapnya
lagi. Air mataku seketika jatuh meski aku sudah berusaha untuk menahannya.
“Aku menunggu kalimat itu 4 tahun
yang lalu Rey”. Aku mengambil nafas sebelum melanjutkan, mencoba untuk mengatur
detak jantungku yang sangat tidak karuan.
“Dan kamu tidak mencintaiku, kamu hanya merasa
kehilangan. Rey, kamu terlalu terlambat mengatakannya”. Aku menghapus airmata
yang sudah membasahi pipiku. Dia terdiam, wajahnya tampak sangat gelisah, sedih
dan entahlah aku hanya bisa menunduk.
“Sar, bisa kita ulang semuanya?
Kita buat cerita baru”. katanya meyankinkanku.
“Maaf Rey, aku gak bisa. Aku
sudah dimiliki orang lain”. Ya, aku berhasil mengatakannya. Rey tampak sangat
kecewa mendengar kalimatku. Ia tertunduk lemas, matanya memerah. Dia terdiam
dan tidak mengatakan sepatah katapun.
“Sudahlah Rey, gak perlu ada yang
disesali. Semesta pasti punya cara lain untuk nyatuin kita, kalau memang
ditakdirkan bersama. Kita masih bisa jadi sahabat, kita gak akan merasa
sama-sama kehilangan lagi”. Rey tampak menyetujui kalimatku barusan, ia
menghela nafas berat. Masih tidak terima dengan keadaan yang tidak sesuai
dengan apa yang ia mau. Aku berusaha mencairkan suasana, menanyakan kabar
keluarganya, kuliahnya, dan begitupun sebaliknya.
“Rey aku harus pergi. Aku harus
bertemu dosen pembimbingku sebentar lagii”. Rey menganggukan kepalanya,
mempersilahkan aku untuk pergi. Ia memelukku lagi, erat. Kubalas pelukannya
tanpa ragu.
Aku meninggalkan Rey di dalam
kafe itu. selama perjalanan aku tak henti-hentinya menangis. Aku berhasil
mengatakan kebohongan itu, kebohongan yang bukan hanya Rey yang merasa kecewa.
Aku benar-benar mengakhirinya.